Sejumlah organisasi lingkungan hidup dan pekerja seni di Palembang meminta Badan Restorasi Gambut yang dibentuk Presiden Jokowi, bukan hanya mempertimbangkan kondisi gambut yang akan direstorasi, tetapi juga meninjau keberadaan situs-situs sejarah. Khususnya, situs sejarah Sriwijaya di lahan gambut pesisir timur Sumatera Selatan (Sumsel).
“Membaca berita soal penemuan situs Sriwijaya di lahan gambut yang terbakar 2015 lalu, jelas membuat kami sangat cemas. Jangan-jangan sudah banyak situs sejarah terkait Sriwijaya yang musnah atau rusak akibat aktivitas perusahaan maupun peristiwa kebakaran dan perambahan di lahan gambut di Sumsel,” kata sastrawan dan pekerja teater Nurhayat Arief Permana, menanggapi artikel yang ditulis Nurhadi Rangkuti di Mongabay Indonesia, “Terbakarnya Wanua Sriwijaya di Lahan Gambut Sumatera Selatan”, Senin (21/03/2016).
“Saya pikir Badan Restorasi Gambut yang akan membaca dan menata lahan gambut memperhatikan hal ini. Ini terkait dengan sejarah bangsa yang dibangun oleh kebesaran Kerajaan Sriwijaya yang pengaruhnya sangat luas di Asia, khususnya Asia Tenggara,” kata Arief.
Hadi Jatmiko, yang setuju dengan pernyataan Nurhayat Arief Permana, menilai terancamnya keberadaan situs-situs sejarah Sriwijaya di lahan gambut Sumatera Selatan, membuktikan soal “bobroknya” pemberian izin konsesi di lahan gambut selama ini. “Ini membuktikan mereka yang memberikan izin, bukan hanya tidak paham lingkungan hidup juga tidak “ngeh” mengenai sejarah besar bangsa ini,” kata Hadi.
Kebijakan menghentikan pemberian izin di lahan gambut merupakan langkah yang tepat, tapi prosesreview izin harus tetap dilakukan bukan hanya dengan standar lahan tertata baik atau tidak terbakar, tapi juga berdasarkan wilayah konservasi tinggi karena keberadaan situs-situs sejarah dan keanekaragaman hayati.
Dijelaskan Hadi, saat masih remaja dia sering mendengar peristiwa penemuan benda bersejarah di wilayah gambut pesisir timur Sumatera Selatan. Baik berupa patung, keramik, dan lainnya. Penemuan tersebut mulai dari pembangunan wilayah transmigran maupun aktivitas hak pengusahaan hutan (HPH). “Ceritanya terus berlanjut hingga sekarang, seperti peristiwa di Cengal. Ini membuktikan jika wilayah gambut pesisir timur Sumatera Selatan adalah wilayah penting jejak sejarah bangsa.”
“Jika ini tidak diperbaiki dan diperhatikan, artinya negara telah membiarkan sebuah kehancuran bukti peradaban Sriwijaya, yang merupakan dasar lahirnya negara Indonesia,” kata Hadi.
Kendodong, Desa Peduli Api
Desa Ulak Kendodong, Kecamatan Cengal, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan, tempat ditemukannya situs Sriwijaya di lokasi kebakaran 2015 lalu, merupakan desa yang menjadi sasaran Desa Peduli Api (DPA).
Desa ini satu dari 55 desa di Kabupaten OKI yang berada di lahan gambut, dan rawan dengan kebakaran. Dalam skema DPA yang dijalankan pemerintah Sumsel dengan dukungan berbagai pihak, Desa Ulak Kendodong masuk dalam binaan perusahaan HTI PT. Bumi Mekar Hijau (BMH).
Ada 118 desa yang menjadi sasaran DPA di Sumsel. Desa ini tersebar di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) sebanyak 55 desa, Musi Banyuasin (Muba) dengan 25 desa, Ogan Ilir (OI) dengan 22 desa, dan Banyuasin sebanyak 16 desa.
Pada 2015 lalu, kebakaran lahan gambut di wilayah 96 desa tersebut mencapai 377.333 hektare di Kabupaten OKI, 108.281 hektare di Muba, dan 141.126 hektare di Banyuasin.
Berdasarkan data yang dikeluarkan Pemerintah Sumatera Selatan pada 2016 sebagai pedoman gerakan pengendalian kebakaran hutan dan lahan, semua desa yang mengalami kebakaran tersebut berada di sekitar perusahaan hutan tanaman industri, perkebunan sawit, perusahaan migas, dan hutan negara.(Taufik Wijaya/Mongabay.co.id)
BADAN RESTORASI GAMBUT DIMINTA SELAMATKAN BUKTI SEJARAH SRIWIJAYA
4/
5
Oleh
ompay