Tim Balai Arkeologi Palembang survei di Situs Kanal 12 Ulak Kedondong. Foto: Nurhadi Rangkuti |
Fragmen gerabah dan keramik Tiongkok dari Situs Kanal 12. Foto: Nurhadi Rangkuti |
Rabu (16/3/2016). Dipandu warga setempat saya bersama tim arkeologi dari Balai Arkeologi (Balar) Sumatera Selatan mengunjungi lokasi situs di lokasi kebakaran tahun 2015. Lokasi ini masuk dalam konsesi sebuah perusahaan hutan tanaman industri (HTI) di Distrik Sungai Ketupak, yang berdasarkan informasi luasnya sekitar 41.067,56 hektare .
Situs- situs yang terbakar terdapat pada tempat yang bernama Bukit Tengkorak, Pulau Pisang, dan Kanal 12. Saat di Kanal 12, setelah menelusuri kanal-kanal buatan dengan perahu mesin, terlihat sisa-sisa hutan akasia yang terbakar dan menjadi arang, di kiri-kanan kanal.
Lahan gambut seluas 50 hektare di Kanal 12 tersebut, kini tergenang air karena musim hujan. Terlihat gundukan-gundukan tanah bekas galian para pencari harta karun yang menyembul di antara genangan air. Arkeolog coba mengais gundukan yang ditinggal oleh para penggali harta karun itu.
Mereka meninggalkan pecahan-pecahan gerabah dan keramik kuno, fragmen-fragmen kaca impor, kepingan papan perahu kuno dan beberapa butir manik-manik kuno. Benda-benda yang tidak laku dijual itu dikumpulkan arkeolog untuk diidentifikasi lebih lanjut.
“Kebakaran tahun lalu telah menghanguskan semak-semak yang tinggi di sini. Bara api sampai ke bawah permukaan tanah sedalam 1-2 meter. Para penggali harta karun banyak menemukan guci-guci dan tiang-tiang kayu kuno yang hangus terbakar,” kata Renggo, warga Desa Cengal. Lebih lanjut ia menjelaskan ribuan tiang kayu kuno ditemukan di Kanal 12, Pulau Pinang, Bukit Tengkorak sampai ke wilayah Desa Jeruju.
Tiang-tiang kayu kuno bagian dari bangunan rumah panggung yang awet ribuan tahun dalam tanah rawa gambut. Para arkeolog dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional dan Balai Arkeologi Palembang telah mengidentifikasi umur tiang-tiang kayu di situs-situs lahan basah di Karangagung Tengah (Kabupaten Musi Banyuasin) kawasan Air Sugihan Kiri (Kabupaten Banyuasin) dan Air Sugihan Kanan (Kabupaten Ogan Komering Ilir). Tiang-tiang kayu dibuat dari pohon meranti dan ulin. Berdasarkan analisis carbon dating (C14) tiang-tiang kayu di kawasan situs tersebut berasal dari awal Masehi, jauh sebelum munculnya Kerajaan Sriwijaya pada abad ke-7 di Palembang.
Prasasti Sriwijaya
Situs Kanal 12 di wilayah Ulak Kedondong menjadi lebih bermakna dengan ditemukannya prasasti pendek di masa Sriwijaya oleh penduduk. Kini prasasti tersebut diamankan oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya di Jambi. Jenis tinggalan arkeologis lain yang sezaman dengan prasasti tersebut adalah keramik-keramik Tiongkok dari masa Dinasti Tang.
Diperkirakan, permukiman (wanua) masa Sriwijaya banyak terdapat di wilayah Kecamatan Cengal, antara lain di daerah aliran Sungai Lumpur yang meliputi Sungai Langipi, Sungai Ketupak, Sungai Serdang, Sungai Jeruju, sampai ke Sungai Pasir. Sungai-sungai tersebut saling terkait dan akhirnya bermuara di Selat Bangka.
“Ada kecenderungan perusahaan besar HTI dan sawit sengaja membendung dan menutup sungai-sungai yang berada di wilayah itu,” kata Renggo sambil menunjuk berbagai jejak sungai yang melewati Situs Kanal 12 Ulak Kedondong. Menurutnya, bekas sungai di situs itu berhubungan dengan Sungai Langipi (Lempipi) yang bermuara di Sungai Lumpur.
Bagi arkeolog, jaringan sungai di rawa gambut dari hulu sampai hilir perlu dilestarikan. Melalui pola aliran sungai dapat dicari situs-situs arkeologi dan pola sebarannya.Pada gilirannya, dapat direkonstruksi peradaban kuno di lahan basah, baik pada masa pra-Sriwijaya maupun pada masa kejayaan maritim Sriwijaya.
Sisa-sisa tiang rumah panggung dari kayu nibung. Foto: Balai Arkeologi Palembang |
Terancamnya bukti peradaban Sriwijaya
Terbakarnya wanua-wanua Sriwijaya di wilayah Kecamatan Cengal tersebut jelas mencemaskan. “Bukti-bukti peradaban maritim Sriwijaya tinggal menunggu waktu saja untuk musnah, jika kebakaran lahan gambut terus terjadi,” kata Dr. Yenrizal, Doktor Komunikasi Lingkungan UIN Raden Fatah Palembang, saat berbincang dengan saya, Minggu (20/03/2016).
Badan Restorasi Gambut yang dibentuk Presiden Jokowi dan program Desa Peduli Api (DPA) yang dicetuskan Gubernur Sumatera Selatan perlu menggunakan pendekatan budaya. Agar, situs-situs arkeologi yang juga cagar budaya, dilindungi sekaligus juga dimanfaatkan untuk edukasi kultural dan wisata budaya.
* Nurhadi Rangkuti. Arkeolog, mantan Kepala Balai Arkeologi Sumatera Selatan. E-mail: nurhadirangkuti@yahoo.com - www.mongabay.co.id
TERBAKARNYA WANUA SRIWIJAYA DI LAHAN GAMBUT SUMATERA SELATAN
4/
5
Oleh
ompay