Diiringi musik tanjidor, ratusan pasang pengantin remaja melakukan tradisi ritual pasca-Lebaran di Kayuagung, Ibu Kota Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), dengan berjalan sejauh 5 km. Tradisi itu disebut midang, morge siwe.
Selain menyusuri jalan di sepanjang Sungai Komering yang membelah kota yang terletak sekitar 65 km dari Palembang, Ibu Kota Sumatera Selatan, barisan pengantin remaja itu juga menyeberangi Sungai Komering dengan perahu ketek. Ini memberikan gambaran betapa mulianya ritual perkawinan yang merupakan pertanda berakhirnya masa bujang dan gadis.
Sudah turun temurun tradisi ini digelar masyarakat Kayuagung yang terdiri dari sembilan marga. Hanya saja, kini ritual itu dilakukan untuk melestarikan tradisi. Karena perkawinan yang digelar masyarakat tak mungkin lagi bisa menyelenggarakan upacara sebesar itu.
Dalam tradisi midang ini, spontanitas warga kota yang berpenduduk sekitar 150.000 keluarga memadati sepanjang jalan yang dilalui. Karena banyaknya pasangan pengantin remaja yang ikut meramaikan ritual midang, kini digelar selama dua hari,
Dalam ritual itu digambarkan bagaimana perkawinan itu dimulai dari perkenalan antara bujang dan gadis, lalu ada acara melamar atau bahkan kawin lari dan diakhiri dengan perkawinan yang diwarnai arak-arakan sepasang pengantin keliling kota untuk memberi tahu warga bahwa sepasang remaja itu kini sudah berubah status.
Pada ritual itu, setiap marga diwakili satu pasang pengantin inti yang berpakaian lengkap pengantin khas Kayuagung diiringi puluhan bahkan ratusan pengantin remaja sebagai pengiring.
Banyaknya jumlah pengiring ini, menurut Ketua Pemuka Adat Kayuagung Rahman Ahmad, bergantung besar kecilnya keluarga. Semakin besar keluarga, semakin banyak pengantin pengiring. Arak-arakan ini juga diiringi musik tanjidor yang membawakan lagu daerah.
Pengantin inti lelaki maupun pengantin pengiring mengenakan handuk sebagai selendang. Sebagai pertanda bahwa usai arak-arakan mereka akan mandi di Sungai Komering. Saat mandi itu tidak mengenakan apa-apa, kecuali handuk yang dilepas begitu tubuh masuk ke air.
Mereka meski melewati pendopoan, karena waktu zaman penjajahan, pemerintah Belanda mengharuskan para pengantin melewati pendopoan yang kini ditempati bupati. "Itu sebagai bagian dari pengontrolan pemerintah Hindia Belanda," ujar Rahman Ahmad.
Tanpa “Bong” dan “Juli”
Kalau zaman dahulu, dalam arak-arakan juga dibawa bong (tempat mandi dari kayu yang mengapung) yang biasanya ditempatkan di sungai. "Itu pertanda ada keluarga baru, ada bong baru. Tetapi karena sekarang sulit mendapatkan kayu besar yang mengapung, bong itu ditiadakan," paparnya.
Selain itu, arak-arakan juga diramaikan juli (gerobak yang dihiasi seperti perahu atau kapal). Pengantin inti ini pun dinaikkan di atas juli saat melewati pendopoan.
Kini, midang tanpa bong dan juli. Arak-arakan cukup berjalan kaki.
Tradisi arak-arakan ini tetap harus dilestarikan. "Apalagi, kalau menunggu ada perkawinan mabang handak (bawang putih) yang mampu menggelar midang, rasanya cukup sulit karena membutuhkan dana sangat besar. Karenanya, sejak puluhan tahun lalu, tradisi yang dikenal sejak kesultanan Palembang tahun 1800 Masehi lalu, digelar usai Lebaran,"
Masyarakat Kayuagung yang menetap di kota itu ataupun perantau yang mudik saat Lebaran kini memang dapat menikmati midang tanpa perlu menggelar perkawinan. Dengan biaya swadaya masyarakat, usai Lebaran Kota Kayuagung akan selalu ramai. Mereka tumpek di sepanjang jalan yang dilewati peserta midang.
Selain midang masih ada acara yang lebih unik lagi, minsalnya BIDAR (lomba dayung) yang dilaksanakan setahun sekali di kayuagung.
TRADISI MIDANG MORGESIWE DI KAYUAGUNG
4/
5
Oleh
ompay