OKI, morgesiwe.com – Di tengah derasnya arus modernisasi, sebuah rumah kayu tua berdiri megah dan kokoh di Desa Pulau Gemantung Induk, Kecamatan Tanjung Lubuk, Kabupaten Ogan Komering Ilir. Rumah ini bukan bangunan biasa. Ia adalah Rumah Depati Bahar, saksi bisu perjalanan sejarah, budaya, dan spiritual masyarakat Komering Bengkulah yang telah melintasi lebih dari satu abad zaman.
Dibangun 14 tahun setelah letusan Gunung Krakatau tahun 1883, rumah adat Bengkulah ini merupakan peninggalan dari Pangeran dan Pesirah Kemargaan Bengkulah yang berpusat di Desa Negeri Ratu—kini Dusun III Pulau Gemantung Induk.
Pulau Gemantung sendiri adalah desa tua yang telah dimekarkan menjadi empat wilayah, namun tetap satu hati secara budaya. Masyarakatnya merupakan turunan langsung dari Suku Komering Bengkulah, klan dari Suku Lampung yang berasal dari Kepaksian Sekala Brak dan bermigrasi ke wilayah Sumsel sejak abad ke-7.
Rumah Depati Bahar memiliki luas 120 meter persegi dan dibangun tanpa paku, menggunakan sistem baji dengan kayu merawan dan unglen. Arsitekturnya sarat dengan nilai filosofi—menghadap ke timur sebagai simbol harapan dan kearifan, serta mencerminkan kekuatan adat dan agama yang membingkai kehidupan masyarakat Komering Bengkulah.
“Tidak ada yang berubah, yang berubah hanya zaman. Dulu rumah ini baru, sekarang tampak tua,” canda Syaiful Bahar bin Depati Bahar, keturunan langsung pendirinya, Haji Rais.
Interior rumah dipenuhi ukiran khas Palembang dan Sriwijaya. Di ruang tamu terpajang foto-foto lawas para leluhur dan benda-benda peninggalan sejarah seperti guci tua dan peti kayu misterius yang keberadaannya masih menyimpan cerita tak terungkap.
Syaiful Bahar menuturkan, rumah ini dahulu adalah pusat pemerintahan marga. Dibangun kembali setelah kebakaran besar di Tiuh Usang (kini Pulau Gemantung Ilir), rumah tersebut menjadi simbol keteguhan masyarakat mempertahankan nilai dan identitas mereka.
Pengaruh budaya dari Kerajaan Sriwijaya, Kepaksian Skala Brak, hingga Kesultanan Palembang Darussalam begitu kental terasa di rumah ini—mulai dari bahasa, tata ruang, hingga makanan tradisional.
Kini, Rumah Depati Bahar telah diakui sebagai Cagar Budaya oleh Dinas Pariwisata OKI, sebagai wujud penghargaan terhadap warisan leluhur.
“Zaman boleh berubah, tapi manusia jangan berubah. Boleh ilmu setinggi langit, tapi jangan lupakan bumi. Ingat, leluhur kita berpegang teguh pada agama,” pesan Syaiful kepada generasi muda.
Rumah ini bukan hanya simbol kejayaan masa lalu, tapi juga pengingat akan jati diri yang mesti dijaga oleh generasi masa kini dan mendatang.